Oct 2, 2010

pentingnya kehilangan Tuhan


Heran, bagaimana mungkin ketika ada orang yang complain kehilangan tuhan kemudian secara mutlak dapat dipersalahkan. Dengan tanpa bermaksud menyamakan Tuhan dengan yang selain Tuhan, Tuhan juga merupakan "sesuatu". Jika memang Tuhan BUKAN "sesuatu" maka kehadiran Tuhan, keberadaan Tuhan itu sendiri tidak akan dapat dirasakan sama sekali.

Betapa besarnya ketakutan seseorang ketika membicarakan tentang Tuhan. Apakah Tuhan tidak layak dibicarakan? Tabukah membicarakan-Nya?

Saya jadi teringat dengan istilah "agama turunan", dan tanpa saya tutup-tutupi saya juga sempat merasakannya.


Kehidupan kita yang bermula dari roh, janin, kemudian menjelma menjadi bayi manusia yang terlahir tanpa dapat melakukan "order" terlebih dahulu menjadikan saya "terpaksa" menjadi seseorang dengan beragama "A". Saya kenal agama "A" dari didikan orang tua, dipertajam di lingkup pendidikan formal. Saya semula memanglah hanya tahu bahwa agama "A" adalah agama yang paling benar karena dari awalnya orang tua saya menyatakan hal tersebut baik secara verbal ataupun tidak. Statement-statement sejenis itu juga saya terima dari semua orang pemeluk agama "A" yang pernah bersentuhan dengan kehidupan saya, teman semasa kecil, teman bermain di rumah, teman sekolah, teman orang tua saya dan sebagainya. Ketundukan beragama sesuai dengan ajaran (lebih tepatnya "didikan") orang tua melahirkan saya menjadi orang yang selalu menjawab: "katanya" ketika ada seseorang melakukan verifikasi kebenaran yang saya pegang.

Pemberontakan kecil bermula ketika menghadapi betapa tingginya subyektifitas manusia berpengaruh pada perputaran agama yang menjalari kehidupan manusia. Saya tidak akan mempersoalkan subyektifitas manusia tersebut. Subyektifitas manusia memang tidak mungkin ditolak ketika pengejawantahan sesuatu yang berasal dari konsep menjadi praktis. Konsep tidak akan berubah menjadi praktis jika tanpa subyektifisan manusia itu sendiri, karena pada dasarnya manusia dibekali oleh Tuhan dengan akal-pikiran. Hal inilah yang juga menjadikan manusia lebih dinamis dan memiliki respon bertahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan binatang atau tumbuhan.

Ketika agama "A" (yang pertama kali saya dengan dari orang tua saya) berubah menjadi agama "A", banyak riak dan gelombang yang mempertanyakan saya atas "pembelotan" yang saya lakukan. Jika memang saya memberlakukan subyektifias saya sangat tinggi, bukannya yang lain (atau bahkan mungkin Anda juga) juga melakukan hal yang sama?

Satu pengalaman yang cukup menarik dan menguatkan diri saya dalam proses "pembelotan" yang saya lakukan ada pada saat saya memerdekakan diri untuk berani "tampil beda" di muka umum.

Pada kesempatan shalat Jum'at, saya lakukan apa yang saya yakini "lebih benar", bukan "paling benar". Berbagai komentar miring keluar dengan "tampilan" saya yang berbeda dari sebelum-belumnya. Hanya satu komentar yang saya nilai netral dan damai, "dia begitu karena dia tahu alasannya..."

Proses "kehilangan" juga saya dapati pada masa transisi dari agama "A" ke agama "A". "Kehilangan" itu sendiri sangat berarti buat saya. Karena ketika saya mampu merasakan "kehilangan" berarti saya mempu memiliki rasa "memiliki". Dengan rasa "kehilangan" tersebut dapat "memaksa" kita mencari dan berusaha sekuat tenaga kita untuk menemukan-Nya kembali.