Jan 2, 2012

URGENSI TASAWUF



Agama tauhid adalah ciptaan Allah subhanahu wa-ta’ala yang konstan, esensinya
adalah mengesakan-Nya dalam beribadah, dan mensyukuri nikmat-nikmat-Nya.

Ketika Ali bin Abi Thalib bertanya kepada Rasulullah SAW tentang
sunnahnya, maka beliau menjawab; ”bahwa makrifatullah adalah modalku, akal
pikiran adalah sumber agamaku, cinta adalah dasar hidupku, rindu adalah
kendaraanku, berzikir kepada Allah adalah kawanku, ilmu adalah senjataku,
ketabahan adalah pakaianku, kerelaan adalah sasaranku, fakir itu adalah
kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinan adalah makananku,
kejujuran adalah perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, jihad adalah perangaiku,
dan shalat adalah hiburanku.”
Islam mengajarkan, bahwa dalam diri setiap orang ada fitra atau keinginan
alamiah untuk mengenal Tuhannya. Kaum sufi bahkan percaya, bahwa Tuhan itu
sebenarnya ada dalam qalbu setiap orang. Kendati Dia sangat dekat dengan kita
namun tidak seorangpun diberi tiket gratis untuk mengenal-Nya apalagi mendekati-
Nya. Di antara kita dan Tuhan seolah terpisahkan oleh apa-apa yang disimbol oleh
kaum sufi sebagai pintu tembok atau cadar berlapis-lapis. Tetapi, kunci untuk
membuka pintu atau cadar itu adalah zikir atau kesadaran tinggi untuk selalu
mengingat-Nya melalui nama-nama-Nya.
Atas dasar demikian, penulis dengan ikhlas ingin berbagi, untuk menjemput
barang yang telah terlupakan, membangunkan sebuah kesadaran tinggi yang telah
tertinggalkan dan mengajak kepada jalan untuk memperoleh keredhaan-Nya
dengan sebuah risalah yang dinamai dengan ”Perjalanan Menuju Ke-Esaan Allah
SWT. yang terkandung di dalamnya suatu perjalanan kepada Hadhirat Malikul
2
Muluk dengan isyarah yang tinggi pula; ibarat barang yang halus dan jalan (thariq)
yang sangat kuat (qawiy), sebagai sajian hamba yang dha’if dan fakir ini semoga
turut memberikan kontribusi yang benar dan haqiqi dalam sebuah kesungguhan
pada jalan-Nya bagi segenap ummat dalam seluruh aspek kehidupan karena
semuanya telah diterangkan secara nyata oleh Allah SWT dalam kitabnya Al-
Qur’an tinggal lagi bagaimana harus memahami dan mengimplementasikannya
dalam hidup keseharian.
Mudah-mudahan dengan risalah ini nantinya dapat diambil sebagai pedoman
menuju suatu jalan keinsafan, bahwa agama Islam itu bukan hanya mengabarkan
yang dhahir-dhahir saja melainkan ada sisi bathinnya, yang bathin itulah yang
sebenarnya; yaitu ibarat tubuh dengan nyawa karena syari’at yang dhahir itu
diibaratkan tubuh dan syari’at yang bathin itu diibaratkan nyawa, haqiqat tubuh itu
ialah nyawa tapi bukan haqiqat nyawa itu tubuh. Seperti; tiap-tiap Rasul itu datang
ia dari pada pangkat Nabi, tetapi bukan tiap-tiap Nabi itu datang ia dari pada
pangkat Rasul, begitu juga tiap-tiap ahli haqiqat (Ahlul Haqiqat) itu datang ia dari
ahli syari’at (Ahlusy Syari’at), tetapi bukan tiap-tiap Ahli Syari’at itu datang ia dari
pada ahli haqiqat.
Oleh karena itu, Nabi SAW mengisyaratkan dengan sabdanya; Innalallaha
yabghatsu kulla ’alimin biddun-ya jahilin bil akhirat. (Al-Hadits, Rawahul Hakim,
dari Abu Huraurah r.a). Artinya: Bahwa Allah Ta’ala sangat marah akan tiap-tiap
orang ‘alim dengan dunia dan jahil dengan akhirat: Yakni ‘alim yang dhahir saja,
yaitu ilmu syari’at yang dhahir tetapi jahil dengan ilmu akhirat, yaitu ilmu syari’at
yang bathin yang dinamai akan ia dengan ilmu Thariqat dan ilmu haqiqat, yakni
ilmu Tauhid – tasawuf, wallahu a’lam.
Supaya Allah jangan memarahi kita maka hendaklah mengambil ilmu
syari’at yang bathin (tauhid–tasawuf), dengan memahami dan mengamalkannya
maka akam memerikan kemudahan dan menambah kenikmatan ibadah atau dalam
3
mengamalkan ilmu syari’at yang dhahir. Tetapi, ilmu syari’at yang bathin itu
sangat sukar mendapatkannya pada masa kini karena ilmu syari’at bathin tidak
disukai oleh hawa nafsu dan tidak mudah pula diterima oleh akal manusia, seperti
kalangan para ahli fuqaha atau manusia yang belum lagi sehat akalnya. Sebaliknya,
apabila bagi orang yang ada sedikit keimanan dengan Allah dan hari kemudian
akan mau menuruti dan mengamalkan ilmu tauhid–tasawuf itu sedikit demi sedikit
maka lama-kelamaan tentu mereka akan mengetahui manfaatnya dengan terang
dapat merasakan kelebihan akan ilmu syari’at bathin itu, insya Allahu Ta’ala.
Pengamalan tauhid yang dimaksudkan di sini adalah merupakan ajaran yang
tidak boleh tidak harus diketahui dan diamalkan bagi ummat Islam karena maksud
tauhid di sini adalah untuk menghadapkan hatinya kepada Allah SWT dengan
menjalankan thariqat yang mu’tabar supaya bermakrifat kepada sifat dan dzat Allah
SWT, maka bathinnya bersih wujud selain Allah, hanya Allah saja yang ada dalam
pandangannya untuk ia dapat hidup bersama Allah tetapi bukan bersama nafsu
yang sombong, angkuh, ego dan durhaka. Sedangkan tasawuf dimaksudkan adalah
untuk dapat berakhlak dengan nafsu yang terpuji, seperti; sabar, rendah hati,
tawadhuk, dan kasih sayang, serta meninggalkan penyakit-penyakit nafsu yang
tercela, seperti; tidak sabar, sombong, iri, dengki, thamak dan mengadakan
permusuhan. Tasawuf juga bertujuan untuk membersihkan nafsu dari dosa dan
cinta akan dunia (hubbud dun-ya).
Kedua hal di atas tidak datang dengan gratis tetapi harus diupayakan dengan
sungguh-sungguh pada jalan-Nya (thariqat – haqiqat) dengan bertaubat, zuhud dan
wara’ untuk bermu’amalah hati dengan Sang Khaliq, seperti; tawakkal, inabah,
istiqamah dan sampai kepada ikhlas yang selalu berkemauan kepada Allah SWT
semata untuk mendapatkan keredhaan-Nya dan kasih sayang-Nya, serta
memandang wujud-Nya dengan tajalli, yakni hancur rasam diri pada maqam
ahadid jamak untuk mendapatkan ma’rifat ketauhidan.
4
Faedah dan kegunaan pengamalan tauhid–tasawuf adalah untuk
menghilangkan ananiyah; kesombongan supaya dapat beramal dengan penuh
keikhlasan, tidak merasa merasa bangga (‘ujub), takabur dan ria, serta berakhlak
yang mulia dalam beramal salih sesuai dengan hukum syari’at dan adat yang
berlaku dalam kehidupan, baik sebagai ulama, umara, pengusaha, pegawai
pemerintah dan rakyat biasa supaya tercipta sebuah masyarakat Islami yang
Madani dalam negara yang dicintai ini.
Oleh karena itu, berkehandak kepada hidayatul Haq maka kita harus
mempelajari ilmu shufiyah (muhaqqiqin wal-mutasawifin) dengan sungguhsungguh
karena tanpa kesungguhan kita tidak akan memperolehnya, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Arief Billahul Qibri Wal-Quthubusy Syahir Sayyid Ahmad
Rafa’I Quddusullah Sirrahu, yang dilahirkan pada tahun 500 H, dan berpulang ke
Rahmatullah pada tahun 550 H, yang katanya; Ta’alamul ‘ilmash shufiyati
ta’aluman pa-inna jazbatil haqqi qadqalat fi hadzaz zamani. Artinya; pelajarilah
olehmu akan ilmu sufi itu dengan sungguh-sungguh maka bahwasanya Jadzatu
Haq, yakni orang yang disampaikan oleh Allah Ta’ala kepada Makrifat, yang
sebenarnya ilmu sufi itu sudah sangat sedikit pada masa ini sebab sedikit orang
yang menjalani akan jalan ahli sufi ini padahal niscaya akan mendapat ia
Jadzabatul Haqq itu.
Selanjutnya, kata Quthubul Rabbani Waliyul Wushul Sayyidi Syeikh Abdul
Karim Saman Madani (1132 – 1189 H), katanya: Waman akhara ‘anni falabudda
antajzabahu yaddul ‘inayati walau ‘indal mamati watahsuna khawatimuhu
wayakuna min ajilla issu’ada-i. Artinya: Barang siapa mengambil ia akan thariqat
dari pada aku dan ia bersungguh-sungguh mengamalkan dan menjalaninya maka ia
akan mendapat pertolongan Allah Ta’ala dan pada ketika hidupnya dan matinya
sekalipun akan memperoleh kebajikan pada kesudahan matinya itu, dan adalah ia
dari pada orang yang dapat kemenangan di dalam akhirat. Inilah dimaksudkan
5
dengan firman Allah Ta’ala: Wa-anlawis thaqamu ‘alath-thariqatiy la-asqainahum
ma’aa ghadaqan. (Aj-Jin, 16). Maksudnya: dan bahwasanya jikalau tetap mereka
itu atas mengamalkan ilmu thariqat, sesungguhnya Kami tolong akan mereka itu air
rahmat yang banyak, Wallahu a’lam.
Atas kelebihan ilmu thariqat wal haqiqat ini, yakni ilmu thariqat ahlush
shufi ini telah mengaku beberapa orang Waliyullah yang masyhur-masyhur dan
setengah dari mereka, yaitu telah berkata Qutubul ‘Ulum Sayyidul Thaifatush
Shufiyah Abi Qasim Junaid Al-Baghdadi; At-tashdiqu bi-‘ilmina hadza wilayatush
shaghriyi. Artinya; Bermula orang yang membenarkan dengan ilmu kami ini, yakni
ilmu thariqat kaum ahli sufi ini, yaitu ianya Wali Allah yang kecil. Dan Quthubul
Ghaust Wali Wushul Wal-waikalun Nurani Syekh Abi Yazid Busthami, berkata;
Idza raitu ahadan yuhsinudh dhanni bikalami ahli hazath thariqi faqul lahu yad-
‘ulaka fainnahu mujabud da’wati. Artinya; Apabila engkau lihat akan seseorang
yang baik sangkanya dengan perkataan kaum ahli thariqat sufi maka kata olehmu
baginya bahwa mendoakan ia bagimu karena bahwasanya adalah ia itu mustajab
doanya itu.
Selanjutnya, Muhaqqiq Billah Syekh Ruwim Quddusullah sirrahu, berkata;
Man amana bikalimimna haza walau min wara’I sab-‘ina hijaban fahuwa min
ahlihi. Artinya; Barang siapa percaya dengan perkataan kami ini, yakni perkataan
kaum ahli sufi dan jikalau dari pada belakang tujuh dinding sekalipun maka dari
pada ahlinya, kalau tidak nyata kebenarannya dan kelebihannya ilmu thariqat kaum
ahli sufi itu dimanakah berani mereka itu berkata dengan demikian.
Oleh karena itu, jangan ragu dan takut berpegang pada perkataan mereka itu
karena Allah Ta’ala telah berfirman; Ulaa-ikallazina hadallahu fabihuda
uhumuqtadih. (Al-An-am, 91). Yakni; Mereka itulah segala orang yang telah
ditunjuki oleh Allah Ta’ala maka dengan petunjuk mereka itu ikut (pegang)
olehmu. Jika Saudara-saudara masih juga ragu dan mengingkari perkataan mereka
6
itu, itulah Waliyullah yang dikehendaki sebagaimana maksud dari firman Allah
Ta’ala dalam Hadits Qudsi, yaitu; Man ‘ada liy waliyyan faqad azantuhu bil harbi.
(Al-Hadits Rawahul Bukhari). Artinya; Barang siapa bersiteru dengan wali-Ku
maka sungguhnya Aku beri izin akan dia dengan berperang. Yakni berjihad atas
kebenaran jalan-Nya.
Pelajaran ini diharapkan jangan sampai dikatakan “bahwa ajaran tauhid
tasawuf belum perlu dipelajar, diajarkan atau diamalkan,” tetapi “kita telah
sangat terlambat mempelajari dan mengamalkannya,” sehingga pertikaian,
keserakahan, dan permusuhan di kalangan ummat Islam sendiri dewasa ini, oleh
karena Agama tidak dianggap lagi menjadi rahmat untuk sekalian alam. Hal ini
adalah akibat kealpaan, kelupaan, kelalaian dan keterlambatan dalam pengamalan
tauhid tasawuf. itu sendiri sebagai haqiqat pelaksanaan syari’at Islam secara kaffah.
Wama arsalnaka illa rahmatan lil’alamin. (Al-Anbiya’, 107) Artinya; Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. Dan, agama Islam itu tinggi, dan tidak ditinggikan di atasnya.” (Al-Hadits).
Wallahu A’lam bish shawab wa-billahi marji’ul wal-ma-ab, wala haula wala
quwata illa biLlahil ‘aliyil ‘adhim.

No comments: