Jun 26, 2010

Ateisme: hati-hati...




Seiring kemajuan zaman yang menghantarkan isu globalisme dan plurarisme dewasa ini, keimanan umat Muslim diuji dengan isu gerakan ateisme, termasuk di Indonesia. Inilah sebuah tantangan yang harus diwaspadai.



Cobalah Anda lacak kata ‘ateis’ di search engine Google. Tentu Anda akan menemukan banyak tema yang membahas soal itu. Malah yang mengejutkan, beberapa di antaranya, kita bisa bisa menemukan website, milis, blog komunitas yang mengikuti paham ateisme, termasuk di Indonesia.



Dari dulu hingga kini ateisme selalu kontra dengan umat beragama. Perdebatan tentang Tuhan selalu menjadi tema sentral antara penganut ateisme dengan teisme [baca: beragama atau bertuhan]. Bagi umat Islam, tentu saja ateisme adalah gerakan atau paham yang harus diwaspadai. Apalagi pada peradaban seperti zaman sekarang ini, yang ditandai dengan revolusi teknologi di berbagai ranah kehidupan, ateisme solah-olah menjadi ‘virus’ yang mengikuti perjalanan spiritualitas manusia.




Merunut sejarahnya, pandangan ateisme berasal dari peradaban Barat. Ateisme berasal dari bahasa Yunani, yakni atheos, yang merujuk kepada siapa pun yang memiliki kepercayaan bertentangan dengan kepercayaan yang sudah ada di lingkungannya. Seiring perkembangan zaman, sejumlah pemikir memiliki definisi bermacam-macam tentang ateisme. Tapi secara global, ateis bisa berarti tidak bertuhan atau tidak beragama. Ada sejumlah filsuf yang memegang pandangan ateisme, di antaranya: Sigmund Freud, Friedrich Engels, Karl Marx, Nietzsche, dan Sartre. Memang para pemikir hebat ini memberikan pandangan ke-tiada-an ekistensi Tuhan dengan penalaran yang rasional dan meyakinkan. Namun tidak ada satu pun yang berhasil memberikan kontribusi berarti bagi umat manusia, terutama manfaat bagi relasi manusia dengan jagat alam semesta ini. Bahkan, di antara mereka malah wafat dengan cara yang tak wajar, seperti Nietzsche yang dijuluki “Sang Pembunuh Tuhan” [Also sprach Zarathustra], dia meninggal dalam kegilaan karena terus memikirkan eksistensi Tuhan.



Munculnya pandangan ateisme, tentu saja mendapat sorotan tajam dari para ulama Islam. Cendikiawan Muslim Al-Ghazali dan sufi ternama Jalaluddin ar-Rumi adalah dua orang yang sangat mengecam ateisme. Secara umum, Ghazali dan Rumi menolak ateisme karena pengenalan Tuhan yang dilakukan para pemikir Barat hanya mengandalkan akal dalam arti sempit. Sedangkan Ghazali dan Rumi meyakini keesaan Tuhan, dengan cara penalaran akal secara luas, yakni kesinambungan akal pikiran dan akal hati [kalbu]. Dengan penalaran seperti inilah manusia yakin akan eksistensi keesaan Tuhan.



Selain karena pengaruh pemikiran Barat, ateisme muncul karena kesadaran dari diri sendiri. Namun, langsung maupun tidak langsung, kesadaran ini ada karena ada sesuatu yang mempengaruhi dirinya, baik lewat bacaan, pergaulan, maupun pengalaman hidup. Salah satu faktanya terjadi di Indonesia. Beberapa waktu lalu sekelompok orang yang mengatasnamakan demokrasi dan plurarisme ingin mencabut UU Nomor 1/PNPS/1965 juncto UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalagunaan dan atau Penodaan Agama. Menurut Presiden World Conference on Religions for Peace [WCRP] KH Hasyim Muzadi, pencabutan itu justru berpotensi merusak kerukunan umat beragama yang telah dibangun dengan susah payah di Indonesia. KH. Hasyim mencermati adanya keinginan pencabutan UU tersebut salah satu indikasi berkembangnya ateisme di Indonesia dengan mengatasnamakan plularisme. Padahal pluralisme haruslah dipahami sebagai pluralisme sosiologis, bukan pluralisme teologis karena mereka memiliki keyakinan banyak [polireligi] hakikatnya adalah tiada beragama [areligi] [Kompas/16/02/2010].



Potensi ateisme seperti yang diasumsikan Hasyim tersebut memang harus diwaspadai. Maklum, negara kita memiliki kehidupan umat beragama berbeda tapi tetap bertoleransi. Seandainya gerakan ateisme terus berkembang, bukankah secara hukum negara hal itu tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 45. Apalagi Indonesia mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, tentu kita tidak bisa membiarkan begitu saja ateisme melunturkan keimanan dan ketauhidan kita kepada Allah swt.



Perdebatan orang-orang ateis dan Muslim seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan dasar logika dan penalaran akal, orang-orang ateis terkadang mempengaruhi umat yang berkeyakinan pada agama. Perang pemikiran dengan akal [ghazwul fikr] pun tak dapat terelakan.



Bagi kaum Muslim, adu pendapat dengan orang-orang ateis tentang Tuhan, sebenarnya tantangan tersendiri. Namun, alangkah baiknya kita menyiapkan akal kita dengan membaca beberapa referensi Islam, termasuk tentu saja al-Qur’an dan hadist berikut tafsir-tafsirnya. Perihal hubungan akal, Tuhan, dan agama, cendikiawan Muslim Indonesia, M. Quraish Shihab membahasnya dalam buku LOGIKA AGAMA: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islami. Buku ini berisi percakapan Quraish dengan gurunya ketika dia menimba ilmu di Universitas al-Azhar, Mesir. Dalam Bab 3: Islam & Akal, ada anologi menarik yang dijelaskan dalam buku tersebut perihal kategoriasi penalaran seseorang dalam menghadapi suatu masalah, yakni rasional, irasional, dan suprarasional.



Dari tiga kategori tersebut, ternyata akal manusia sangat terbatas jika berkaitan dengan penelurusan ekistensi dan keesaan Tuhan. Hal ini yang berlaku adalah penelurusan secara suprarasional, yakni hakikat yang benar tetapi tidak dicerna oleh akal. Analoginya, nalar seseorang yang hidup jauh di pedesaan dan tidak pernah mengenal teve, tidak akan dapat memahami bahwa sesuatu yang terjadi pada suatu tempat yang jauh dapat dilihat pada saat kejadiannya oleh siapa pun yang memiliki teve. Bagi mereka, mustahil menurut akalnya. Tetapi, buat kita dewasa ini tidak demikian, dan karena itu apa yang dinamakan mustahil ada dua macam, yakni menurut akal [1+1+1=3], dan mustahil menurut kebiasaan sehari-hari sebagaimana pandangan penduduk desa tadi [M. Quraish Shihab, LOGIKA AGAMA: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islami hlmn 90-91].



Berpegang dari anologi tersebut, sebenarnya kita sudah mengetahui bahwa orang-orang ateisme hanya berpikir mustahil menurut akal [1+1+1=3], tidak berpikir mustahil menurut kebiasaan sehari-hari.



Oleh karena itu, kita sebagai Muslim bisa menganologikan penalaran tentang Tuhan dari bekal anologi tersebut agar tidak terjebak pada pengaruh ateisme. Sebenarnya secara ekstrim, paham ateisme bisa dengan mudah dipatahkan, yakni menawarkan para pengikutnya untuk merasakan kematian, dengan mengajukan pertanyaan dari kita: “Apakah Anda ingin bukti adanya Tuhan dan agama? Kalau sangat penasaran, dengan cara apa Anda ingin meninggal?” Begitulah pertanyaan yang cocok jika Anda menghadapi orang ateis. Sebab kematian adalah jalan untuk menemukan jawaban bagi mereka. Allah menciptakan akal manusia bukan untuk kematian, tapi untuk merenungi keesaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan kenikmatan dari-Nya yang diwujudkan dengan keluasaan alam semesta berikut isinya.“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” [QS Âli 'Imrân [3]: 90].

Disadur dari: http://alifmagz.com/2010/03/08/mewaspadai-ateisme/

No comments: